Jumat, 29 Oktober 2010

memahami liberalisme lama dan baru

LIBERALISME LAMA DAN BARU

Ebensteain, William. Great Political Thinkers. New York. NY: holt Rinehart, and Wunston, 1960


Muslim Mufti

Liberalisme Lama
Liberalisme lama mempunyai beberapa karakter khusus, antara lain semangat empirisme untuk dunia filsafat, etika utilitarian, agnotisme agama, persaingan ekonomi, antiotoritarianisme dalam kehidupan politik, semangat anti imperalisme, pasifisme dan perdagangan bebas dalam dunia hubungan inetrnasional. Ciri-ciri ini merupakan refleksi dari semangat individualisme yang merupakan akar dari liberalisme.
Spencer menulis dalam tulisannya berisi tentang pandangan filosofi politiknya tentang Individualisme yang ekstrim dan tentang Laissez faire. Dalam tulisannya tersebut Spencer berkeyakinan bahwa segala sesuatu di alam semesta memilki hukumnya sendiri. Manusia menjadi subyek hukum, baik secara fisik maupun esensi spiritual dan secara individual maupun social.
Dalam membahas fungsi negara, perhatian Spencer tertuju pada permasalahan mengenai apa yang seharusnya tidak dilakukan oleh Negara dibanding dengan apa yang harus dilakukan oleh negara. Mengatur aparat pemerintah dan administrasi lembaga yudikatif adalah 2 tugas utama dari aktivitas pemerintah dan tujuan dari hal tersebut adalah tidak lain untuk menjaga hak-hak dasr manusia yakni perlindungan terhadap kehidupan dan harta kekayaannya.
Pandangannya mengenai Negara dalam konteks evolusi, Spencer sedikit tertarik pada bentuk-bentuk pemerintahan yang didasarkan pada pembedaan secara tradisional seperti Monarki, Aristokrasi, dan Demokrasi.
Menurut Spencer ada 2 bentuk utama negara dan masyarakat yaitu apa yang disebutnya  negara militer dan negara Industri. Negara militer adalah bentuk awal dari organisasi sosial yang sifatnya masih primitif, barbar, dan selalu memiliki hasrat untuk berperang. Dan pemimpin militer memiliki posisi seperti pemimpin politik dan didalamnya terdapat hubungan erat antara militeristik dengan tindakan kesewang-wenangan. Individu dinilai tidak lebih dari seledar alat untuk mencapai tujuan akhir Negara, yakni untuk mencapai kemenangan dalam perang.
Dalam aktivitas ekonomi negara militer, tunduk kepada kepentingan dan kebutuhan militer dan tujuan ekonomi sendiri bukan untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan rakyat banyak tetapi ditujukan untuk meningkatkan kekuatan militer demi keberhasilan penaklukan nantinya. Dalam negara militeri memang terdapat adanya kerja sama namun hal tersebut terjadi karena keterpaksaan atau dipaksakan oleh negara dan tidak didasarkan atas rasa suka rela.
Dalam perkembangannya yakni dengan semakin meluasnya territorial negara militer dan tercapainya keamanan dan stabilitas dalam jangka waktu yang lama, maka hal ini menimbulkan perubahan secara gradual hingga timbul kemudian timbul ciri-ciri  masyarakat industri pada negara ini. Pandangan hidup negara dan masyarakat industri yang timbul adalah berdasarkan pada kerja sama secara bebas dan dihapuskannya segala bentuk paksaan dan kekerasan dalam segala aspek kehidupan. Adanya spontanitas, keragaman, dan berbedaan adalah karakter yang membentuk masyarakat industri dan hal ini memberikan arti pula bagi semakin berkurangnya ketergantungan atau kebutuhan masyarakat akan keberadaan pemerintah.
Bagi Spencer perkembangan dari bentuk negara militer kepada masyarakat industri memiliki arti adanya pengurangan peran pemerintah yang terus meningkat secara simultan. Hal didasarkan pada alasan bahwa pemerintah bagi Spencer tidak lebih dari bukti masih eksisnya barbarianisme. Semakin masyarakat dan individu di dalamnya belajar untuk bekerja sama secara damai, bebas dan saling menguntungkan, maka semakin dekat ia kepada bentuk ideal dari negara industri dan semakin berkurang kebutuhannya akan kehadiran pemerintah.  
Dalam hal ini nampaknya Spencer tidak menyadari dan tidak melihat bahwa industrialisasi modern sendiri menghasilkan bentuk baru dari kesewang-wenangan dan kezaliman. Dan Spencer sendiri keliru dalam menilai kapitalisme para tuan tanah abad 19 masehi diamana mereka secara nyata bahkan nampak jelas berprilaku sangat lalim dan sewenang-wenang dibanding dengan harapan akan adanya kerja sama secara damai.
Menurut Spencer perusahaan-perusahaan swasta yang tidak mendapat campur tangan dari pemerintah adalah jaminan terbaik bagi hadirnya perdamaian di dalam negeri maupun dunia internasional.
Pada tahun 1884 Spencer menerbitkan 4 tulisannya dalam Contemporary Review yang terangkum dalam sebuah buku yang berjudul The Man versus The State. Buku ini merupakan karyanya yang paling terkenal dalam bidang politik dan pernyataan-pernyataannya memiliki pengaruh yang sangat besar dalam filofosi Laissez faire.
Keempat tulisan spencer tersebut antara lain adalah The New Tories; kedua berjudul The Coming Slavery; ketiga berjudul The Sins of Legislators dan keempat berjudul The Great Political Superstation. Dalam bukunya tersebut Spencer antara lain menyimpulkan bahwa pemerintah bukanlah institusi hebat yang berada di atas segalanya, namun hanyalah sebuah komite managemen yang tidak memiliki otoritas dan kekuasaan diluar dari yang telah diberikan oleh rakyatnya.
Hal ini dipertegas kembali dengan pernyataannya yang menyebutkan bahwa  fungsi liberalisme di masa lalu adalah untuk membatasi kekuasaan raja-raja, dan dimasa kini fungsi liberalisme adalah untuk membatasi kekuasaan parlemen.
Berdasarkan pemikiran Spencer ini, bagi pandangan kaum liberal kebebasan berarti ada sejumlah orang yang akan menang dan sejumlah orang yg akan kalah. Kemenangan dan kekalahan ini terjadi karena persaingan. Sehingga kebebasan akan diartikan sebagai memiliki hak-hak dan mampu menggunakan hak-hak tsb dengan memperkecil turut campurnnya pihak lain dalam hal ini pemerintah.
Kaum liberal menyatakan bahwa masyarakat pasar kapitalis adalah masyarakat yang bebas dan masyarakat yang produktif. Kapitalisme bekerja menghasilkan dinamis, kesempatan, dan kompetisi. Kepentingan pribadi adalah motor yang mendorong masyarakat bergerak dinamis.
Liberalisme bertujuan mengembalikan kepercayaan pada kekuasaan pasar, dengan pembenaran mengacu pada kebebasan. Seperti pada contoh kasus upah pekerja, dalam pemahaman liberalisme, pemerintah tidak berhak ikut campur dalam penentuan gaji pekerja atau dalam masalah-masalah tenaga kerja sepenuhnya adalah urusan antara pengusaha pemilik modal dan pekerja.
Pendorong utama kembalinya kekuatan kekuasaan pasar adalah privatisasi aktivitas-aktivitas ekonomi, terlebih pada usaha-usaha industri yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah. Revolusi liberalisme bermakna bergantinya sebuah manajemen ekonomi yang berbasiskan persediaan menjadi berbasis permintaan.Tugas pemerintah hanya menciptakan lingkungan sehingga modal dapat bergerak bebas dengan baik. dalam titik ini pemerintah menjalankan kebijakan-kebijakan memotong pengeluaran, memotong biaya-biaya publik seperti subsidi, sehingga fasilitas-fasilitas untuk kesejahteraan publik harus dikurangi.
Akhirnya logika pasarlah yang berjaya diatas kehidupan publik. ini menjadi pondasi dasar liberalism, menundukan kehidupan publik ke dalam logika pasar. Pelayanan publik semata seperti subsidi dianggap akan menjadi pemborosan dan inefisiensi. Semangat liberalisme lama adalah melihat seluruh kehidupan sebagai sumber laba korporasi.
Liberalisme lama menawarkan pemikiran politik sederhana, sehingga pada titik tertentu politik tidak lagi mempunyai makna selain apa yang ditentukan oleh pasar dan pengusaha. Dalam pemikiran liberalisme politik adalah keputusan-keputusan yang menawarkan nilai-nilai, sedangkan secara bersamaan liberalisme menganggap hanya satu cara rasional untuk mengukur nilai, yaitu pasar. Semua pemikiran diluar rel pasar dianggap salah. Kapitalisme liberal menganggap wilayah politik adalah tempat dimana pasar berkuasa.
Bisa jadi Spencer dalam pemikirannya mengabaikan peran pemerintah yang nota bene masih diperlukan kehadirannya dalam mengatur dan mengelola perekonomian. Karena bagaimanapun segala hal yang terjadi di masyarakat tentu akan berdampak pada kebijakan yang diambil oleh pemerintah dan begitu pula sebaliknya. Proses kebijakan yang diambil oleh pemerintah sangatlah kompleks. Hal tersebut terjadi karena pada hakekatnya proses kebijakan adalah juga sebuah proses politik. Sehingga segala kompleksitas persoalan yang muncul di tingkatan politik, juga ditemui di tingkatan kebijakan yang menyangkut publik.

Liberalisme Baru
Keynes ada pada posisi yang unik dalam sejarah pemikiran ekonomi barat, karena pada saat-saat krisis ideologi Keynes dapat  menawarkan suatu pemecahan yang merupakan jalan tengah.  Dia berpendapat bahwa untuk menolong sistem perekonomian negara-negara tersebut, orang harus bersedia meninggalkan ideologi laissez taire yang murni. Tidak bisa tidak, pemerintah harus melakukan campur tangan lebih banyak  dalam mengendalikan perekonomian nasional.
Keynes mengatakan bahwa kegiatan produksi dan pemilikan faktor-faktor produksi masih tetap bisa dipegang oleh swasta, tetapi pemerintah wajib melakukan kebijakan-kebijakan yang secara aktif akan mempengaruhi gerak perekonomian. Sebagai contoh, pada saat terjadi depresi, pemerintah harus bersedia melakukan program atau kegiatan yang langsung dapat meyerap tenaga kerja (yang tidak tertampung di sektor swasta), meskipun itu membutuhkan biaya besar.
Inti dari ideologi Keynesianisme adalah Keynes tidak percaya akan kekuatan hakiki dari sistem laissez faire untuk mengoreksi diri  sendiri sehingga tercapai kondisi efisien (full employment) secara otomatis, tetapi kondisi full-employment hanya dapat dicapai dengan tindakan-tindakan terencana.
Kaum klasik berpendapat bahwa pemerintah tidak perlu campur tangan dalam perekonomian.  Mereka beranggapan perekonomian akan mengatur dirinya sendiri sedemikian rupa sehingga sumberdaya ekonomi yang ada akan mampu digunakan secara efisien sehingga selalu terjadi keadaan dimana kondisi perekonomian pada full employment.  Pandangan ini cukup lama berakar dan dipegang  sebagai landasan perekonomian sebelum munculnya Keyness yang membawa aliran pemikiran baru, yang mengatakan bahwa intervensi pemerintah itu diperlukan dalam perekonomian dalam upaya membuat suatu keadaan lebih baik atau ada pihak tertentu yang menjadi tujuan perbaikan ekonomi.
Mengapa pemikiran Keynes muncul ? Hal itu tidak terlepas dari fenomena yang berkembang pada saat itu, dimana terjadi depresi besar (great depretion) sehingga terjadi pengangguran besar-besaran.  Pengangguran besar-besaran inilah merupakan fenomena yang tidak dapat dijawab oleh kaum klasik.  Kaum klasik mengatakan bahwa di dalam perekonomian yang full employment (padahal mereka mengatakan perekonomian selalu full employment) tidak ada pengagguran (unemployment).   Tetapi kenyataan pada saat itu terjadi pengangguran besar-besaran.  Munculnya pemikiran Keynes membuka cakrawala baru dan menjadi tonggak sejarah penting keberadaan makroekonomi.
Dalam kesempatan itu Keynes menyatakan bahwa permasalahan politik umat manusia terdiri atas kombinasi 3 hal yaitu efisiensi ekonomi, keadilan social dan kebebasan individu.
Dalam efisiensi ekonomi dibutuhkan adanya sikap kritis, langkah-langkah penghematan dan pengetahuan teknis yang memadai. Kemudian pada unsure kedua dibutuhkan adanya sikap terbuka yang mengedepankan kepentingan public atau rakyat banyak. Unsure ketiga memerlukan adanya sikap toleransi, kebesaran hati dan apresiasi yang tinggi atas keragaman dan yang paling penting adalah pemberian kesempatan yang seluas-luasnya bagi keinginan dan cita-cita yang tinggi dari warga Negara.
Dalam bukunya yang lain yaitu berjudul The End of Laissez Faire, diterbitkan pada tahun 1926, Keynes secara jelas menunjukkan adanya perbedaan antara liberalisme baru dan liberalisme lama (klasik). Dalam bukunya Keynes menyatakan bahwa filosofi laissez faire adalah didasarkan pada pemikiran masa lalu yang sudah tidak relevan lagi dengan konteks masa kini.
Sebuah sistem ekonomi bebas yang disertai dengan berbagai regulasi yang diciptakan untuk menjaga agar kinerja pasar tetap kompetitif dan adil, serta untuk mencegah konsentrasi kekuasaan ekonomi, yang biasanya terjadi dalam bentuk kartel atau trust atau perusahaan raksasa.
Landasan dasar pemikiran konsep ekonomi-politik Liberalisme baru antara lain adalah gagasan anti-naturalistik tentang pasar dan kompetisi. Konsep pasar atau market dilihat sebagai salah satu dari berbagai macam model hubungan sosial bentukan manusia.  Sebab pasar bukanlah gejala alami, maka pasar dapat diciptakan dan dibatalkan menurut desain dari kehendak manusia. Tidak ada ekonomi yang  terpisah dari politik, sebagaimana tak ada politik yang terlepas dari  ekonomi, sehingga kinerja pasar juga membutuhkan adanya tindakan-tindakan politik yang bertugas menciptakan sederet kondisi bagi operasinya agar adil dan kompetitif.
Kemudian menurut liberalisme baru, harus ada penolakan atas kinerja kapitalisme yang hanya diasalkan pada logika modal atau capital semata. Transaksi ekonomi hanyalah salah satu bentuk dari relasi sosial manusia, oleh karenanya hubungan-hubungan sosial manusia bukanlah untuk mengabdi kepada kapitalisme, melainkan kapitalisme yang harus mengabdi untuk membantu kebutuhan relasi sosial manusia agar berlangsung dengan adil dan kompetitif.
Kapitalisme merupakan sistem ciptaan manusia atau human construct, oleh sebab itu pastilah dapat diubah serta dimodifikasi dan desain ulang oleh manusia. Dalam rangka proses mengubah dan memodifikasi kapitalisme itu, maka diperlukan suatu proses transformasi kapitalisme, dimana dilakukan upaya-upaya untuk menciptakan bentuk bentuk baru kapitalisme yang lebih sesuai dengan kebutuhan relasi sosial manusia.
Gejala konsentrasi kekuasaan ekonomi pada segelintir pengusaha bukanlah suatu gejala alami atau nasib alami dari sistem ekonomi kapitalisme. Hal tersebut semata merupakan suatu strategi ekonomi-politik yang gagal, dan produk gagal itu dapat dicegah dengan rangkaian berbagai politik kebijakan sosial dalam suatu kebijakan sistem kesejahteraan  atau Welfare System.
Selanjutnya dalam gagasan liberal baru kebijakan sosial merupakan prasyarat mutlak bagi bekerjanya ekonomi yang adil dan kompetitif. Serangkaian kebijakan sosial, mutlak diperlukan sebagai pencegah  terjadinya kesenjangan kekuasaan ekonomi yang tajam, serta untuk menciptakan dan memperluas semangat usaha masyarakat disamping  untuk menciptakan iklim inovasi disegala bidang.


Dilema Demokrasi

DILEMA DEMOKRASI (Leslie Lipson, The Democratic Civilization (New York: Ferrer and Simons Inc, 1964)
Di Susun olehMuslim Mufti


Dalam menjelaskan dan menjawab kririk permasalahn demokrasi, Lipson mengajak kita untuk memisahkan fakta dari asumsi dan dugaan. Tidak seorangpun dapat dan akan menolak bahwa perbedaan kemakmuran, status sosial, dan pengaruh dari perbedaan yang terdistribusi dalam berbagai macam masyarakat tersebut, pada akhirnya mengantarkan yang sedikit memerintah bagian masyarakat yang lebih besar. Adalah juga fakta bahwa perkembangan masyarakat kita yang sangat komplek diatur oleh organisasi yang besar, yang diatur dari pusat dan bercirikan birokratik. Akan tetapi, atmosfir dari publisitas dan kritik yang mengitari organisasi tersebut menjadikan manajer dari kekuatan yang demokratik tersebut tidak hanya memenuhi kebutuhan anggotanya sendiri tetapi juga untuk masyarakat yang lebih luas. Dengan demikian “yang sedikit” itu dalam menjalankan kekuasaanya atau memproses tuntutan masyarakat tidak hanya dapat memenuhi tuntutan yang datangnya dari anggotanya sendiri, karena kalau yang terjadi demikian akan senantiasa memperoleh tekanan dalam bentuk kritik dari media massa.
Pada akhirnya karena dalam demokrasi dimungkinkan rakyat melakukan perubahan terhadap segala sesuatu yang dianggap tidak sesuai bagi dirinya, maka kemungkinan terjadinya perubahan ke-arah yang monopolistik dan dictator dapat dicegah.  Sebaliknya masing-masing organisasi justru berebut untuk mencari dukungan dari rakyat. Bagaimanpun sejak kehadiran negara yang semakin terkait dengan masalah pemenuhan tanggung jawab umum, kompetisi terhadap kepentingan publik ditempatkan dalam tatanan politik.  Dalam kenyataan yang demikian, Lipson menekankan perlunya dua  partai yang memiliki kekuasaan besar yang dapat dipilih dari waktu ke waktu. Pada akhirnya pemerintahan rakyat dalam demokrasi tidak hanya sekedar sebuah prosesi. Fungsi mereka lebih seperti seorang juri dalam suatu dewan pengadilan. Mereka mendengarkan kesaksian (evidence) dan pada hari pemilihan mereka mengirimkan keputusannya melalui pilihannya.
Penjelasan Lipson di atas merupakan jawaban atas persoalan yang selama ini dianggap sebagai dilemma dalam demokrasi, yang sebenarnya merupakan jawaban dari seorang yang mendukung demokrasi terhadap para penentangnya, sebagaimana yang dilakukan oleh Robert A. Dahl.[1]
Lipson menyatakan bahwa demokrasi telah diinterpretasikan sebuah sistem politik yang mencari dan mengarahkan gerakan masyarakat dalam mencapai konsep peradabannya. Ini adalah sebuah jalan harmonisasi dalam hubungan kelompok-kelompok , sebuah yang ideal dalam kebebasan, kesetaraan dan keadilan. Hal ini merupakan sebuah cara untuk menyesuaikan antara konteks hubungan dan pengelompokan yang penafsirannya lebih dekat pada cita-cita kebebasan, persamaan hak dan keadilan. Ketika istilah demokrasi telah banyak dipraktekkan, kini demokrasi bisa disebut sebagai sarana pemerintah untuk merepresentasikan keinginannya dalam mengontrol rakyat untuk melakukan sesuatu atas nama dan di bawah tanggung jawab pemerintah. Ketika Woodraw Wilson[2]  Presiden Amerika Serikat selama Perang Dunia I, berbicara dengan lantang untuk menyelamatkan dunia dengan demokrasi, ia berpendapat bahwa demokrasi diperlukan agar masyarakat lebih dewasa, dalam arti matang secara pemikirannya.
Dalam kondisi sosial demokrasi,[3] dimanan kondisi beragam yang dihadapi masyarakat membuat sistem demokrasi banyak diadopsi oleh banyak negara akhir-akhir ini. Awal mula berkembangnya teori  demokrasi berawal dari sejarah Yunani Kuno. Pada waktu itu di Yunani banyak terjadi peristiwa dan kesempatan yang memberi ruang yang besar bagi rezim demokrasi untuk berkembang. Dari sebuah teori dengan struktur sistem dan kepercayaan yang sangat sederhana, demokrasi kemudian mulai dikenal banyak orang, seiring dengan perkembangan zaman sedikit demi sedikit mulai dipelajari, direkonstruksi dan dikembangkan pada generasi-generasi berikutnya. Lagi-lagi pada suatu kesempatan di abad ke-17 dan 18, serangkaian peristiwa dan kecenderungan baru di kalangan masyarakat Eropa yang mulai bersikap terbuka pada kajian keilmuan, kembali membuat istilah demokrasi kian dikenal dan menggeser kekuatan tradisional. Dan pihak pegawai serta pelayan pemerintahan yang berkuasa kemudian mengadopsi sistem demokrasi sebagai pilar kekuatan pemerintah; lahirlah falsafah baru dengan menawarkan pengalaman baru bernama demokrasi. Ada serangkaian peristiwa besar yang melatarbelakangi serta mengiringi lahirnya demokrasi di antaranya: gerakan oposisi melawan tindak pidana korupsi yang menggerogoti Gereja Katolik; eksperimen ilmu pengetahuan dan pergolakan intelektual yang melahirkan daya kritis tajam dengan mempertanyakan semua doktrin dan dogma tradisional; berkembangnya ekonomi baru telah melahirkan babak baru perekonomian rakyat yang kian membaik dan membawa perubahan pada sebuah tipe negara yang baru; para raja yang semena-mena memerintah rakyat dengan memanfaatkan kekuasaan feodalnya untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya dan semakin menancapkan kekuasaan absolutnya sehingga melahirkan  pemerasaan; pergeseran nilai-nilai peradaban pada dekade tertentu dan tempat-tempat tertentu telah mengubah kepribadian individual sekaligus persepsi rakyat terhadap kekuasaan. Dikarenakan faktor-faktor tersebut beberapa diantaranya bereaksi secara langsung dan sebagiannya lagi bergerak secara diam-diam. Hal tersebut telah membuka lahan yang luas bagi rakyat untuk berpartisipasi dengan kegiatan politis dan pemerintahan; keinginan rakyat untuk berpolitik semakin besar. Selain itu, ada sekitar empat atau lima institusi negara yang memberikan kesempatan secara lebih luas kepada rakyat banyak untuk menggeluti politik dalam pemerintahan pusat dan kemudian mempraktekannya dalam kehidupan kesehariannya di tempat mereka tinggal.[4]
Dalam pendekatan sejarah menunjukan betapa kesuksesan demokrasi dimulai dengan revolusi dan dikembangkan oleh evolusi, dan kini demokrasi telah mencapai masa matangnya dan akan tetap menjadi demikian.
Menurut Leislie Lipson, masuknya sosiologi selalu bergandengan dengan pemahaman beragama dan berbahasa. Hal tersebut menggambarkan bahwa komunitas masyarakat yang keberadaannya tidak akan terlepas dari dimensi-dimensi tersebut akan berhadapan dengan masalah besar ketika mempraktekkan sikap toleran dan persamaan. Ketika suatu perbedaan mencuat ke permukaan, sebuah kekuasaan yang menganut sistem demokrasi akan mungkin bisa mengembangkan sistem demokrasinya apabila setiap individu saling menghargai persamaan derajat di antara sesama.
Selanjutnya Leisli Lipson, memberikan bukti kongkret bahwa demokrasi akan selalu eksis dengan segala kelebihan yang dimilikinya, tapi apabila usaha ini tidak didukung oleh kekuatan stabilitas pendidikan yang mantap, maka usaha ini akan sia-sia.
Kemudian pada faktor-faktor ekonomi disebutkan bahwa generalisasi ekonomi akan bisa ditegakkan apabila semua komponen bangsa benar-benar memperhatikan secara seksama. Pada tahap ini, demokrasi sudah bisa bereaksi dengan baik di negara pertanian dan industri. Demokrasi juga bisa berkembang di negara industri dan di negara tingkat perekonomiannya rendah. Ada dua aspek dalam teori ekonomi yang bisa membantu demokrasi pada perkembangan selanjutnya: distribusi internal bagi setiap kekayaan yang dimiliki dan sirkulasi kekuatan ekonomi yang dapat membantu lebih kuatnya kepentingan konsep politik. Tidak dapat disangkal bahwa kondisi yang kompleks demikian adalah sesuatu yang akan banyak berpengaruh pada perkembangan demokrasi di negara modern selanjutnya, karena ketika mereka mencoba mengkombinasikannya memang benar-benar menjadi sebuah respons politik terhadap kegiatan sosial yang simultan. Tetapi pada hakikatnya tidaklah demikian, analisis demokrasi yang dibahas jelas-jelas memberikan penjelasan secara lebih dengan menambahkan faktor-faktor lainnya. Faktor-faktor tersebut akan memberikan pencerahan dengan berarti dan akan memperluas pemahaman kita tentang suatu penjelasan yang signifikan.
Pengaruh filsafat[5], dimana filsafat telah memberi pengaruh yang cukup baik terhadap proses pendewasaan pemikiran masyarakat dalam memahami masalah kewarganegaraan. Mereka yang belajar filsafat secara komprehensif akan dapat memahami bahwa sistem demokrasi adalah sebuah sistem yang sangat cocok untuk kemaslahatan manusia. Untuk memahami demokrasi dibutuhkan pemikiran yang prima sementara mempelajari filsafat merupakan cara yang baik untuk mempertajam pemahaman.
Nilai-nilai murni yang diusung demokrasi bertujuan untuk membentuk kebebasan persamaan hak manusia, secara politis dan sosial. Hal terpenting yang harus dilakukan dalam rangka mensosialisasikan demokrasi kepada masyarakat adalah dengan memberikan pemahaman terlebih dahulu tujuan demokrasi bagi masyarakat. Untuk menyebarluaskan demokrasi kepada masyarakat memerlukan kerja sama banyak pihak. Salah satu bentuk kerja sama yang saling menguntungkan antar-ilmu, diantaranya memformulasikan pemahaman antara filsafat dengan demokrasi. Apabila masyarakat telah memahami demokrasi secara utuh maka setiap orang pasti tidak akan pernah merasa khawatir untuk melakukan suatu aktivitas. Karena dalam ajaran demokrasi, kebebasan seseorang untuk berekspresi dan mengeluarkan pendapat sangat dijamin, sejauh kegiatan atau aktivitas tersebut tidak bertentangan dengan norma yang ada. Dalam mempelajari filsafat sebagai jalan untuk memahami demokrasi, akan ada dampak positif dan negatif. Sebelum menerapkan sistem demokrasi pada kehidupan sehari-hari, seseorang harus memiliki prinsip dasar berupa norma perilaku yang berlaku di daerah tempat seseorang itu tinggal. Karena dasar untuk memahami dan menerapkan demokrasi adalah perilaku yang sesuai dengan norma masyarakat. Dalam hal ini, demokrasi selalu tidak bertentangan dengan norma masyarakat.
Ciri khas dari negara yang menjunjung tinggi demokrasi adalah penghormatannya terhadap persamaan hak. Kekuatan pemerintah terletak pada secara konsisten dalam menjalankan program yang dibuatnya agar menjadi lebih baik dari keadaan sebelumnya.
Kemudian Lipson menjelaskan dalam demokrasi perlu  dilakukan rekonsiliasi peran politik, dimana  ada empat  hal yang harus diperhatikan sehubungan dengan peran rekonsiliasi dalam kehidupan politik, yaitu voter, partai politik, konstitusi lembaga legislative dan kepemimpinan. Lipson melihat perlunya rakyat sebagai pemilih (voeter) terrepresentasikan melalui wakil-wakilnya di lembaga legislative. Peran yang diharapkan dari wakil-wakil rakyat di lembaga legislative sebagai pemegang mandate rakyat adalah peran memerintah sebagai pihak oposisi.
Ketika filsafat dipadukan dengan kekuatan sosial maka akan muncul kekuatan yang besar, sehingga hal ini akan berimbas pada perkembangan politik oleh karena sistem pemerintahan modern direpresentasikan oleh orang-orang tertentu, maka demokrasi menyusun seperangkat aturan tentang bagaimana manusia bersikap dan berlaku agar menjadi orang yang dicintai rakyat, dan pada akhirnya dipilih melalui sistem pemilihan. Dalam rangka mensukseskan pemilihan umum, diadakanlah pengelompokan masyarakat dalam kelompok-kelompok tertentu. Dalam demokrasi setiap orang mempunyai hak untuk memilih dan dipilih menjadi pemimpin. Orang-orang yang akan dipilih mewakili partai-partai tertentu.
Partai adalah gabungan sekelompok orang yang memilki hak yang sama untuk memilih calon pemimpin yang diinginkannya. Politik sebagaimana dipahami oleh setiap orang sebagai sebuah pertarungan, tapi dalam demokrasi pertarungan itu diatur sedemikian rupa dengan peraturan yang telah ditentukan sehingga tidak ada yang dirugikan. Partai juga akan memaikan peran rekonsiliasinya dalam kehidupan politik yang demokratis. Partai merupakan hasil seleksi terbaik dari sejumlah partai yang ada. Maksudnya, partai harus mencerminkan kepentingan masyarakat, lalu bersaing dengan partai-partai lainnya untuk menawarkan pilihan kepada komunitas pemilih.[6]
Lalu melangkah ke konstitusi sebagai lembaga ketiga dari demokrasi. Menurut Lipson konstitusi itu penting karena memuat aturan-aturan mengenai proses politik. Konstitusi tidak hanya mencerminkan realitas dalam masyarakat, tetapi juga menetapkan lembaga-lembaga politik dan mekanisme pembagian kekuasaan bagi kemajuan lebih lanjut. Begitu pula dengan lembaga legislative yang akan menjadi instrument penting yang akan mewakili kedaulatan rakyat dalam pemerintahan. Melalui lembaga legislatif, rakyat dengan mudah dapat melalukan control terhadap kekuasaan pemerintah. Presiden, perdana menteri atau kabinet sebagai pemimpin yang fungsi utamanya adalah to overcome possible legislative indecision’ tidak hanya sebatas memiliki kemampuan kualitas dan kapabilitas, tetapi juga memerlukan control ketat untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan yang dapat membahayakan kepentingan umum.
Kategori demokrasi Lipson menjelaskan bahwa demokrasi bukanlah fenomena yang seragam untuk semua tempat, ada dua kategori demokrasi, yaitu kategori demokrasi yang menekankan pada kebebasan dan individualisme, dan kategori yang menekankan pada persamaan, berwatak sosial dan social focused. Dalam kaitanya dengan hak-hak kaum minoritas, kategori pertama merancang lembaga-lembaga politik untuk membatasi kekuasaan golongan mayoritas. Sementara, kategori kedua memfokuskan perhatiannya pada kekuasaan mesin-mesin pemerintahan, dan bukan kebebasan untuk bersaing. Menurut Lipson kategori ini menghendaki kekuasaan bagi pemerintah untuk menjamin tidak adanya golongan dalam masyarakat yang mengalami deprivasi.

Keberatan Terhadap Demokrasi
Lipson melihat ada tiga keberatan dalam system demokrasi. Pertama, adanya potensi tirani mayoritas terhadap kelompok minoritas. Lipson berpendapat bahwa tirani ini terkait dengan tindakan brutal dari kelompok kecil masyarakat pada kelompok mayoritas dan penyangkalan terhadap hak-hak kaum minoritas. Kemungkinan ini dapat terjadi setiap sistem kekuasaan. Setiap tipe pemerintah memiliki kekuatan dan kekuatan dapat disalahgunakan, baik oleh minoritas maupun mayoritas. [7]
Kedua, Kenyataan bahwa demokrasi cenderung menempatkan orang-orang bodoh ke tampuk kekuasaan.[8] Didasarkan pada konsep bahwa hanya sebagian kecil manusia yang mampu memimpin dan bahwa rakyat jelata harus dipimpin, serta benar bahwa seni pemerintahan memerlukan seseorang yang ahli dan mengerti secara teknis mengenai pemerintahan. Meskipun benar bahwa pengetahuan secara tekhnis tidak selalu akan memberikan keputusan yang bijak, tetapi coba dilihat sejarah yang menunjukkan bahwa sebagian besar kasus dominasi pemimpin yang superior akan menimbulkan masalah pada rakyat. Contohnya Hitler dan Nazi. Ketiga,  demokrasi paling hanya berupa ilusi, kalau bukan kebohongan. Utopi belaka atau bahkan lebih buruk adalah suatu kepalsuan Demokrasi, menurut argumentasi ini adalah suatu yang berpura-pura membantu dan melindungi minoritas.[9]
 Menurut Lipson, keberatan pertama dapat diatasi, misalnya dengan mengembangkan mekanisme pemerintahan yang kompleks, sehingga kelompok minoritas dapat melindungi kepentingannya dengan berbagai cara. Juga dapat diatasi dengan mengembangkan system oposisi yang kritis dan kontruktif. Sementara terhadap keberatan kedua, Lipson tidak menolak kalau orang-orang terpilih saja yang pantas berkuasa., karena menjadi penguasa memang membutuhkan pengetahuan dan keterampilan tertentu. Namun Lipson mengajukan Hitler dan kepemimpinan komunis sebagai bukti-bukti histories untuk mempertegas kesimpulannya bahwa kepemimpinan oleh orang-orang terpilih justru kerap mendatangkan bencana besar bagi peradaban manusia.
Begitu pula terhadap keberatan ketiga, Lipson juga tidak membantah kalau demokrasi rakyat dalam pengertian yang sebenarnya tidak mungkin terwujud. Karena  memang dalam kenyataannya pemerintahan hanya segelintir orang (oligarkhis). Tapi dengan alasan itu pula Lipson lalu mengajukan argumen rasional bahwa  proses  demokrasi mampu memaksa penguasa oligarkhis untuk selalu memperhatikan aspirasi rakyat, terutama dalam system demokrasi multi partai.

5. Pembelaan Terhadap Demokrasi
Menurut Lipson ada tiga aspek positif dari system demokrasi.[10] (1) demokrasi menghargai martabat manusia, (2) system demokrasi memberi peluang kepada individu-individu untuk menaruh perhatian terhadap masalah-masalah bersama. (3) melalui pendidikan politik, demokrasi dapat memberikan kontribusi bagi perdaban manusia. Pada aspek pertama, Lipson menjelaskan bahwa Negara dan orang yang bekerja di bawah system demokrasi harus bertindak demi kepentingan publik. Dengan alasan itulah kemudian dibentuk lembaga-lembaga pemerintahan yang berfungsi melayani kepentingan publik sekaligus sasaran atau obyek kontrol dari rakyat. Begitu pula pada aspek positif pertama dari system demokrasi. Lipson melihat pentingnya civic education, karena malalui civic education  seseorang dapat belajar memahami nilai-nilai yang dapat diterima atau ditolak oleh system yang ada. Lewat civic education masyarakat dapat mengetahui bahwa melalui hak suara yang dimilikinya, dia juga memiliki tanggungjawab untuk ikut mewarnai perkembangan masyarakatnya.
Sementara pada aspek positif ketiga dari system demokrasi, Lipson menjelaskan bahwa melalui penelitian secara bebas, kritik dan keterbukaan sangat terbuka peluang untuk mencapai prestasi dan membuat penilaian. Gagasan-gagasan demokrasi diakuinya bersifat jelas dan kuat, karena subtansinya memberi peluang bagi dilakukannya redefinisi. Hal ini dengan sendirinya memberi peluang bagi demokrasi untuk beradaptasi sekaligus tumbuh dan berkembang.
Kritik mengenai demokrasi akan selalu muncul, namun demikian bahwa demokrasi mengandung kelemahan-kelemahan, demokrasi juga mengandung kekuatan dan kebaikan, yaitu bahwa demokrasi memperkuat harga diri manusia, menyediakan kesempatan pedidikan kewarganegaraan secara terus-menerus (mempertinggi budaya politik). Dan dengan kesempatan pendidikan kewarganegaraan maka masyarakat akan menjadi semakin berbudaya. Inilah mengapa Lipson memberikan tema buku dengan the democratic civilization. Negara yang merespon  terhadap kebutuhan penduduknya dan akan membantu meningkatkan standar hidup menjadi lebih baik sebagai pendidikan bagi mereka untuk melihat demokrasi. Karena itulah kekuatan Negara pun diperoleh dari rakyat.
Demokrasi yang ideal akan kuat karena adanya kesempatan yang diberikan kepada rakyat, termasuk adanya kesempatan untuk pendefinisian ulang progresif demokrasi.
Namun analisis Lipson terlalu eklusif terhadap demokrasi sebagai fenomena Barat yang membuatnya tidak optimis melihat perkembangan demokrasi di Negara-negara di Asia dan Afrika. Namun pemikiran Lipson seperti itu dengan mudah dapat dipahami jika dikaitkan dengan ancaman ideologi komunis pada tahun 1950-an dan kediktatoran militer pada awal tahun 1960-an.
Sesungguhnya Lipson telah mengungkap masalah, kontradiksi-kontradiksi dalam demokrasi secara komprehensif. Permasalahannya adalah sudut  pandang Lipson adalah cerminan pandangan barat yang sangat optimistik, itulah khasnya ilmuan dari barat. Tulisan Lipson ini tidak memprediksi bagaimana tantangan-tantangan demokrasi dalam menghadapi dunia kontemporer seperti saat ini. Realitanya masalah implementasi demokrasi pada tataran praktek di berbagai pemerintahan di dunia tidaklah murni berkaitan dengan domain politik semata, banyak faktor atau variabel lain yang akan mempengaruhi demokrasi ini dapat berhasil atau mengalami kegagalan ketika dipraktekkan dalam tataran empiris.
Jika dalam masyarakat barat, demokrasi bukanlah keniscayaan karena konsep-konsep yang demikian ideal sesungguhnya dapat disesuaikan dan dimodifikasi , berdasarkan pengalaman sejarah yang demikian panjang. Pemerintahan di negara-negara barat mempunyai pengalaman yang cukup untuk mengaplikasikan konsep-konsep demokrasi dalam pemerintahan dan masyarakat karena berbagai faktor yang lebih selaras dengan nilai-nilai dasar demokrasi itu sendiri. Berbanding terbalik dengan pemerintahan di berbagai belahan dunia lainnya yang mempunyai pengalaman yang berbeda dalam mengelola negaranya.
Jika di negara-negara barat, demokrasi mempunyai keselarasan dengan nilai-nilai kehidupan mereka, namun tidaklah demikian dengan negara-negara di berbagai belahan lain seperti Amerika Latin, Afrika, ataupun di negara-negara Asia, terutama asia tenggara seperti Indonesia. Masalah demokrasi di negara-negara non barat tidak hanya mempunyai domain politik semata namun berkaitan dengan masalah kultur atau budaya, sosial dan ekonomi masyarakatnya.

DAFTAR PUSTAKA
Dahl, Robert A. Perihal Demokrasi, Menjelajahi Teori dan Praktek Demokrasi Secara Singkat. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001.
 Leslie Lipson, The Democratic Civilization (New York: Ferrer and Simons Inc, 1964)
Jack, Lively . Demokracy. Oxford: Basil Blackwell, 1974.
Midgley, Growth, Redistribution, and Welfare: Toward Social Investment, 2003.
Winardi, Kapitalisme Versus Sosialisme . Bandung : Remaja Karya 1986



[1] Dahl, Robert A. Perihal Demokrasi, Menjelajahi Teori dan Praktek Demokrasi Secara Singkat. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001. Hal. 103
[2] Lipson, Leislie, The Democratic Civilization. New York, Feiffer and Simons, 1964. Hal. 237
[3]Ibid, hal 237
[4] Ibid hal.  238
[5] Ibid hal.  239
[6] Ibid hal.  240
[7] Ibid hal.  246-247
[8] Ibid hal.  247
[9] Ibid hal.  248
[10] Ibid hal.  249